AUNUR RAFIQ FUAD ANGSAR
Jumat, 18 September 2015
Kamis, 24 Oktober 2013
Sabtu, 01 Juni 2013
ADA INFO BEASISWA LHO . . .
Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun ketiga. Setelah
sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 dan 2012, maka
DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang
berstatus pelajar dan mahasiswa. Hingga saat ini lebih dari 1000
beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2013 sebanyak 500 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar
yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada
sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal
ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh
pengguna DataPrint. Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250
ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali
bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari
essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan
sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi,
segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web ini!
Pendaftaran periode 1 : 1 Februari – 30 Juni 2013Pengumuman : 10 Juli 2013
Pendaftaran periode 2 : 1 Juli – 31 Desember 2013
Pengumuman : 13 Januari 2014
website Beasiswa DataPrint
website DataPrint
Kamis, 30 Mei 2013
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya membangun sumber daya manusia
ditentukan oleh karakteristik manusia dan masyarakat masa depan yang
dikehendaki. Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki tersebut adalah
manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap
resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui
proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri
sendiri yaitu suatu proses to learn to be. Mampu melakukan kolaborasi dalam
memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan
bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam
arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudah tersentuhan hati nurani di dalam
melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai
dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Pencipta.
Kemendirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir sendiri di
samping proses dan hasil berpikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai
dengan apa yang dianggapnya benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan
untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi,
berarti di samping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri juga mampu
bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama.
Langkah strategis bagi perwujudan
tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan
berdaya guna tinggi. Student active learning atau pendekatan cara belajar siswa
aktif di dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang mengakui sentralitas
layanan siswa di dalam proses belajar, adalah landasan yang kokoh bagi
terbentuknya manusia-manusia masa depan yang diharapkan. Pilihan tersebut
bertolak dari kajian-kajian kritikal dan empirik di samping pilihan masyarakat
(Raka Joni, 1990).
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia
masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan
penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang
tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan di tantang untuk
memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki
karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivisme dalam
kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan kepada tujuan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari teori belajar konstruktivisme
?
2. Bagaimana cara untuk mengkontruksi suatu
pengetahuan ?
3. Bagaimana proses belajar menurut teori belajar konstruktivisme
?
4. Bagaimana cara belajar matematika menurut paham konstruktivisme
?
5. Bagaimana penerapan pendekatan deduktif dalam
teori belajar konstruktivisme ?
6. Bagaimana penerapan metode demonstrasi dalam teori
belajar kontruktivisme ?
7. Bagaimana perbandingan antara pembelajaran
tradisional (behaviorisme) dengan pembelajaran konstruktivisme ?
8. Apakah kelebihan dan kekurangan dari teori belajar
kontruktivisme ?
C. Tujuan
Setelah mempelajari teori belajar konstruktivisme,
mahasiswa diharapkan :
1. Dapat memahami teori belajar konstruktivisme.
2. Dapat mengetahui cara untuk mengkontruksi suatu
pengetahuan.
3. Dapat memahami proses belajar menurut teori
belajar konstruktivisme
4. Dapat mengetahui cara belajar matematika menurut
paham konstruktivisme.
5. Dapat menerapkan pendekatan deduktif dalam teori
belajar konstruktivisme.
6. Dapat menerapkan metode demonstrasi dalam teori
belajar kontruktivisme.
7. Dapat membandingkan pembelajaran tradisional
(behaviorisme) dengan pembelajaran konstruktivisme.
8. Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari
teori belajar kontruktivisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar onstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan landasan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta – fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu
dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, bergelut
dengan ide – ide, yaitu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka
sendiri.
Pembelajaran
berdasarkan konstruktivisme berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi
dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru memberi tekanan pada
penjelasan tentang pengetahuan tersebut dari kacamatasiswa sendiri. Guru dalam
pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitaitor, Suparno ( 1997 :
66) menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut.
1.
Menyediakan pengalaman belajar
yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses
penelitian.
2.
Menyediakan atau memberikan
kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa membantu mereka untuk
mengeskpresikan gagasan - gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
3.
Menyediakan sarana yang
merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
4.
Memonitor, mengevalauasi, dan
menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan
mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan
baru yang berkaitan. Guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa,
sebab perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan
kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang pengetahuan yang
tidak bisa dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber
informasi tentang penalaran dan sifat skema siswa.
Prinsip
konstrukstivisme Piaget menurut De Vries dan Kohlberg (Suparno,1997:70).yang perlu
diperhatikan dalam pembelajarn matematika antara lain adalah :
1.
Struktur psikilogi harus
dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan dikembangkan.Bila siswa mencoba
menalarkan bilangan sebelum mereka menerima stuktur logika matematis yang cocok
dengan persoalannya, tidak akan ada jalan.
2.
Stuktur psikologi ( skemata )
harus dikembangkan lebih dulu sebelum simbol formal diajarkan. Simbol adalah
bahasa matematis suatu konsep, tetapi bukan konsepnya sendiri.
3.
Siswa harus mendapatkan
kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri, jangan hanya
selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
4.
Suasana berpikir harus
diciptakan. Sering pengajaran matematika hanya menstransfer apa yang dipunyai
guru kepada siswa dalam wujud perlimpahan fakta matematis dan prosedur
perhitungan serta bukan penalaran sehingga banyak siswa yang menghafal saja.
Dalam teori konstruktivisme ini lebih mengutamakan pada
pembelajaran siswa yang dihadapkan pada masalah-masalah kompleks untuk dicari
solusinya, selanjutnya menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana.
Berdasarkan penelitian Piaget yang pertama dikemukakan bahwa pengetahuan itu
dibangun dalam pikiran anak. (Ratna, 1988: 181)
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan
pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi
bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial
dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang
sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada
individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi
(dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan
dua ide; Pertama, bahwa
perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan
sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa
perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam
Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya
diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan
masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan
empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu: (1)
pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif.
Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang
dewasa atau teman yang lebih cakap; (2) ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari
konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika
siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah
itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu
untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya
dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak. (3) Masa Magang Kognitif (cognitif
apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh
kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang
dewasa, atau teman yang lebih pandai. (4) Pembelajaran
Termediasi (mediated learning). Vygostky
menekankan pada scaffolding. Siswa
diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan
secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
B.
Kontruksi
Pengetahuan
Menurut teori belajar kontruktivistik,
pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang
dipelajari, melainkan suatu kontruksi kognitif seseorang terhadap objek,
pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada
dan tersedia sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah
sebagai suatu pembentukan yang terus menerus berkembang karena adanya
pemahaman-pemahaman baru.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses
mengkontruksi pengetahuan adalah kontruksi pengetahuan seseorang yang telah
ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah
mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan
tersebut. Bila guru ingin mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang
sesuatu kepada siswa, pengetahuan itu akan diinterpretasikan dan dikontruksikan
oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996)
mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses
mengkontruksi pengetahuan, yaitu : 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman
yang satu daripada yang lainnya.
Menurut pandangan Piaget dan Vigotsky adanya hakikat
sosial dari sebuah proses belajar dan juga tentang penggunaan kelompok-kelompok
belajar dengan kemampuan angotanya yang beragam, sehingga terjadi perubahan
konseptual. Piaget menekankan bahwa belajar adalah sebuah proses aktif dan
pengetahuan disusun di dalam pikiran siswa. Dalam proses belajar diharapkan
adanya komunikasi banyak arah yang memungkinkan terjadinya aktivitas dan
kreativitas yang diharapkan.
C. Proses Belajar Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Proses belajar jika
dipandang dari konstruktivisme bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai
pemberian makna oleh siswa kepada pengalamanya melalui proses asimilasi dan
akomodasi yang bermuara pada struktur kognitifnya. Asimilasi adalah proses
kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah
ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan
skema. Misalnya, seseorang yang baru mengenal konsep balon, maka dalam pikiran
orang itu memiliki skema “balon”. Kalau ia mengempeskan balon itu kemudian
meniupnya lagi sampai besar dan meletus atau mengisinya dengan air sampai
besar, ia tetap memiliki skema tentang balon. Perbedaannya adalah skemanya
tentang balon diperluas dan terici lebih lengkap, bukan hanya sebagai balon
yang menggelembung karena terisi udara, melainkan balon dengan macam-macam
sifatnya. Asimilasi merupakan salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengoirganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang itu
berkembang.
Seseorang dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman
yang baru, tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema
yang telah ia punyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak
cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan seperti ini orang itu akan
mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk skema baru yang sesuai dengan
rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga sesuai
dengan rangsangan itu. Misalnya, seorang anak memiliki skema bahwa semua
binatang berkaki dua atau empat. Skema itu didapat dari abstraksinya terhadap
binatang yang pernah dijumpainya. Pada suatu ketika ia berjalan ke sawah dan
menemukan banyak binatang yang kakinya lebih dari empat. Anak tersebut
merasakan bahwa skema lamanya tidak sesuai lagi dan terjadi konflik dalam
pikirannya. Ia harus mengadakan perubahan terhadap skema lamanya. Ia mengadakan
akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat,
dan atau lebih dari empat.
Kegiatan belajar mengajar lebih dipandang dari segi
perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang ada. Pemberian makna terhadap objek
dan pengalaman oleh individual tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri
oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaingan sosial yang terbentuk
baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan
pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya.
Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan
suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si
belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, meyusun konsep dan
member makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk
menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun
yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala adalah niat belajar siswa
sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar
sepenuhnya ada pada siswa.
Dalam belajar konstruktivisme guru atau pendidik
berperan membantu agar proses membangun pengetahuan oleh siswa berjalan lancar.
Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan
membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk
lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak
dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai
dengan kemauanya.
Peran kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah
pengendalian, yang meliputi;
1.
Menumbuhkan kemandirian dengan
menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.
Menumbuhkan kemampuan mengambil
keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3.
Menyediakan sistem dukungan
yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk
berlatih.
Di dalam konstruktivisme peranan guru bukan pemberi
jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk
membentuk (mengkontruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur
matematika.
Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya
tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri,
kritis dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.
D.
Belajar Matematika menurut
Paham Konstruktivisme
Konsep
pembelajaran konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi
dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme
mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka
pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif (Suherman, 2001) Para ahli
konstruktivisme yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis,
belajar matematika bukanlah suatu proses ‘pengepakan’ pengetahuan secara
hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini diinterpretasikan
secara luas. Selanjut Cobb (Suherman, 2001) mengatakan bahwa belajar matematika
merupakan proses di mana siswa secara aktif menkonstruksi pengetahuan matematika.
Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar
matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan
rumus-rumus saja. Mereka menolak paham matematika dipelajari dalam satu koleksi
yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses
penelitian terhadap makna dan penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang
tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan intelegensinya
dalam setting matematika.
Lebih
jauh lagi para ahli konstrutivis merekomendasi untuk menyediakan lingkungan belajar
di mana siswa dapat mencapai konsep dasar, keterampilan algoritma, proses heuristik dan kebiasaan
bekerja sama dan berefleksi . Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb dkk (1992) menguraikan
bahwa “belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif di mana siswa mencoba
untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi aktif
dalam latihan matematika di kelas.
E.
Pendekatan
Deduktif Dalam Teori Belajar Konstruktivisme
Pendekatan
deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi ke hal
yang khusus. Dalam pendekatan deduktf, tidak menerima generalisasi dari hasil
observasi seperti yang diperoleh dari pendekatan induktif. Dasar pendekatan
deduktif adalah kebenaran suatu pernyataan haruslah didasarkan pada pernyataan
sebelumnya yang benar. Kalau begitu bagaimana untuk menyatakan kebenaran yang
paling awal?. Untuk mengatasi hal ini dalam pendekatan deduktif memasukkan
beberapa pernyataan awal/pangkal sebagai suatu “kesepakatan’, yang diterima
kebenarannya tanpa pembuktian, dan istilah/pengertian pangkal yang kita
sepakati maknanya. Pengertian pangkal merupakan pengertan yang tidak dapat
didefinisikan. Titik, garis, dan bidang merupakan contoh-contoh pengertian pangkal,
sebab titik, garis, dan bidang dianggap ada tapi tidak dapat dinyatakan dalam
kalimat yang tepat. Pernyataan-pernyataan pangkal yang memuat istilah atau
pengertian tersebut dinamakan aksioma atau postulat Dengan pendekatan deduktif
dari kumpulan aksioama yang menggunakan pengertian pangkal tersebut, kita dapat
sampai kepada teorema-teorema yaitu pernyataan-pernyataan yang benar.
Contoh :
(1)
Sesuatu yang sama dengan
sesuatu yang lain, satu sama lain sama
(2)
Jika ditambahkan kepada yang
sama maka hasilnya sama.
(3)
Keseluruhan lebih besar
bagiannya.
Dari ke
tiga contoh aksioma tersebut dapat diperoleh berikut ini
a)
Dari aksioma (1) dan aksioma
(2) dapat disusun pernyataan benar sebagai berikut. Jika x = y maka x + a = y +
a.
b)
Dari aksioma (3) dapat
dinyatakan sebagai berikut.
Jika y
bagian dari x maka x > y
Dengan
demikian diperoleh, jika x > y, maka x + a > y + a
Contoh
penerapan pendekatan deduktif, jumlah n
buah bilangan asli ganjil pertama adalah : nn. Perhatikan pola berikut :
1 = 11
1 + 3 = 4 = 22
1 + 3 + 5 = 9 = 33
1 + 3 + 5 + 7 = 16 = 44
. . . . . . .
. . . . . . .
. . . . . . .
Secara
deduktif pembuktian kebenaran pola itu adalah sebagai berikut (induksi
matematika). Jumlah n suku pertama adalah :
1 + 3 + 5 + ... + (2n-1) = nn
Untuk n =
1, persamaan diatas menjadi 1 = 11. Ini benar. Kemudian, andaikan persamaan itu benar untuk n
= k, maka :
1 + 3 + 5 + ... + (2k-1) = kk
Kita
tambahkan 2(k+1) – 1 kepada ruas persamaan terakhir. Maka diperoleh :
1 + 3 + 5 + ... + (2k-1) + (2k+1) -
1 = kk + 2(k+1) – 1 = k2 + 2k+1=(k + 1)(k + 1)
bentuk 1 + 3 + 5 + ... + (2k – 1) +
2(k + 1) - 1 = (k + 1) (k + 1) tidak lain
dari bentuk persamaan pertama untuk n = 1, n = k, dan n = k + 1 maka persamaan
itu benar untuk semua n bilangan asli
Untuk
membuktikan teorema dan menentukan jawab soal yang menggunakan pendekatan
deduktif pola berpikirnya sama, yaitu menentukan dulu aturan untuk
memberlakukan keadaan khusus hingga didapat kesimpulan. Selanjutnya erat pula
kaitannya dengan generalisasi deduktif dalam matematka adalah cara-cara pembuktian
dalil / aturan /sifat. Dalil / aturan / sifat dalam matematika merupakan
generalisasi yang dapat dibuktikan kebenarannya secara deduktif. Untuk
keperluan itu, ada beberapa macam cara pembuktian yang umumnya sudah jelas
terlihat proses deduktifnya, seperti cara modus ponen,modus tolens, implikasi
positif, kontra posititif, kontra contoh, bukti tidak langsung, dan induksi
matematika (Ruseffendi 1992: 32 ).
F. Penerapan Metode Demonstrasi dalam Teori Belajar
Kontruktivisme
Metode demonstrasi sejenis dengan metode ceramah dan ekspositori.
Kegiatan belajar mengajar berpusat pada guru. Tetapi dalam metode demonstrasi
aktivitas siswa lebih banyak lagi dilibatkan. Dengan demikian, aktivitas guru
menjadi semakin berkurang.
Ciri khas dari metode demonstrasi adalah penonjolan dari suatu
kemampuan, misalnya kemampuan guru atau siswa dalam membuktikan teorema,
menurunkan rumus, dan menyelesaikan soal cerita. Sedangkan yang berhubungan
dengan alat peraga, misalnya penggunaan sepasang segitiga untuk menggambarkan
dua garis sejajar atau garis tegak lurus, penggunaan jangka untuk membuat
lukisan-lukisan geometri, penggunaan mistar untuk membuat diagram batang/garis
atau kalkulator sebagai alat perhitungan dalam matematika.
G. Perbandingan Pembelajaran Tradisional (Behaviorisme)
dan Pembelajaran Konstruktivisme
Kegiatan
pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori
behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan teori pelajaran
melalui ceramah, dengan harapan siswa dapat memahami dan memberikan respon
sesuai dengan materi yang diceramahkan. Dalam pembelajaran, guru banyak
menggantungkan pada buku teks. Materi yang disampaikan sesuai dengan urutan isi
buku teks diharapkan siswa memiliki pandangan yang sama dengan guru atau sama
dengan buku teks tersebut. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi
diantara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan.
Siswa belajar dalam isolasi, yang mempelajari kemampuan tingkat rendah dengan
cara melengkapi buku tugasnya setiap hari.
Ketika menjawab
pertanyaan siswa, guru tidak mencari kemungkinan cara pandang siswa dalam
menghadapi masalah, melainkan melihat apakah siswa tidak memahami sesuatu yang
dianggap benar oleh guru. Pengajaran didasarkan pada gagasan atau konsep-konsep
yang sudah dianggap pasti atau baku,
dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak
dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.
Berbeda dengan
bentuk pembelajaran diatas, pembelajaran konstruktivisme membantu siswa menginternalisasi
dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan
menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif
baru. Pendekatan konstruktivisme lebih luas dan sukar untuk dipahami.
Secara rinci
perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional atau behavioristik dan
pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut:
Pembelajaran tradisional
|
Pembelajaran konstruktivisme
|
1.
Kurikulum disajikan dari
bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada ketrampilan-ketrampilan
dasar.
|
1.
Kurikulum disajikan mulai dari
keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep
yang lebih luas.
|
2.
Pembelajaran sangat taat pada
kurikulum yang telah ditetapkan.
|
2.
Pembelajaran lebih menghargai
pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.
|
3.
Kegiatan kurikuler lebih banyak
mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
|
3.
Kegiatan kurikuler lebih banyak
mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
|
4.
Siswa-siswa dipandang sebagai
“kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada
umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
|
4.
Siswa dipandang sebagai
pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
|
5.
Penilaian hasil belajar atau
pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran, dan biasanya
dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
|
5.
Pengukuran proses dan hasil
belajar siswa terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara
guru mengmati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas
pekerjaan.
|
6.
Siswa-siswa biasanya bekerja
sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
|
6.
Siswa-siswa banyak belajar dan
bekerja didalam group process.
|
H. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar
Kontruktivisme
Kelebihan dari teori kontruktivisme, diantaranya :
a.
Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan
menggunakan bahasa siswa sendiri.
b.
Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa agar siswa
memperluas pengetahuan mereka.
c.
Memberi siswa
kesempatan untuk berfikir lebih mengenai suatu masalah.
d.
Memberi
kesempatan siswa untuk selalu mencoba gagasan-gagasan baru dalam menyelesaikan
suatu masalah.
Adapun kekurangan dalam teori belajar kontruktivisme, diantaranya :
a.
Perlu
adaptasi terlebih dahulu untuk belajar mandiri dalam membangun pengetahuannya.
b.
Ketidaksediaan
murid untuk merancang strategi berfikir dan ketidaksediaan murid untuk menilai
sendiri suatu masalah menurut pengalamannya.
c.
Kondisi
setiap sekolah berbeda-beda dan tidak semua sekolah mempunyai sarana dan
prasarana yang memadai untuk melatih siswa berfikir kritis, kreatif, dan
inovatif, sehingga siswa kurang dapat mengembangkan pengetahuannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Usaha mengembangkan
manusia dan masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dapat
mendidik dirinya sendiri sepanjang hayat, serta mampu berkolaborasi dalam
memecahkan masalah, diperlukan layanan pendidikan yang mampu melihat kaitan
antara ciri-ciri manusia tersebut, dengan praktek-praktek pendidikan dan
pembelajaran untuk mewujudkannya. Teori belajar konstruktivisme yang berdasarkan
pada teori Piaget dan Vigotsky menyatakan bahwa
belajar adalah sebuah proses aktif dan pengetahuan disusun di dalam pikiran
siswa. Dalam proses belajar diharapkan adanya komunikasi banyak arah yang
memungkinkan terjadinya aktivitas dan kreativitas yang diharapkan dan
adanya pengaruh lingkungan sosial yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak dengan tiba-tiba, akan mampu mewujudkan manusia dan
masyarakat yang memiliki kepekaan, mandiri, bertanggungjawab, dan berpikir
kritis.
Proses belajar
sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui
proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan
yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik
yang mengakui dan menghargai dorongan diri manusia atau siswa untuk
mengkonstruksikan pengetahuan sendiri, kegiatan pembelajaran yang dilakukannya
akan diarahkan agar terajadi aktivitas konstruksi pengetahuan oleh siswa secara
optimal.
B.
Saran
Sebaiknya dalam pembelajaran matematika, diterapkan
teori belajar kontruktivisme. Hal ini penting, mengingat dengan pendekatan
seperti ini, maka siswa akan mampu berpikir lebih kritis dalam menghadapi masalah
berupa sejumlah soal. Siswa juga mampu mengembangkan ide-idenya, sehingga
membuat daya pikir mereka lebih kritis. Dengan pendekatan kontruktivisme ini, kemandirian
siswa juga dapat diwujudkan dalam menyelesaikan permasalahan berbagai macam
soal dan mampu mengembangkan konsep-konsep matematika.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiningsih, C.
Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dahar, Ratna
Wilis. 2006. Teori-Teori Belajar &
Pembelajaran. Erlangga: Jakarta.
Rusman. 2012. Model-Model
Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer.
.
Bandung: JICA UPI Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)